KASIH YANG TERABAIKAN

Spread the love

Setitik pun tak pernah ada rasa suka dalam hatiku untuknya. Apalagi cinta ataupun sayang.

Sejak perkenalan setahun yang lalu, kami hanya berteman biasa. Membahas sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan atau pun sekedar bercanda melepas penat lewat dunia maya. Namun ketika tiba-tiba dia mengajak bertemu, aku setuju. Sebuah resto kupilih supaya kami nyaman tanpa menimbulkan fitnah. Itupun hanya sesaat.

Aku terkejut ketika tiba-tiba dia berkunjung ke rumah. Dengan segala keberaniannya, menemui ibu dan langsung meminangku untuk menjadi pendamping hidupnya.
Kaos badminton yang dia kenakan masih terlihat jelas olehku, meskipun jaket lusuh berusaha menutupi dari pandangan. Wajahnya berjerawat, hal yang paling tidak aku sukai. Segala kesederhanaannya tak mampu menggugah perasaanku. Tapi aku tak berdaya, karena sebuah komitmen yang kubuat atas dasar keyakinan hati, ‘tidak akan berpacaran kecuali jika ada yang berani memintaku langsung pada orang tuaku.’
Dalam hati aku bergumam, ta’aaruf yang sedang dia lakukan tak seindah yang kubayangkan. Dalam benakku akan datang pria gagah berkemaja atau berkoko rapi, rambut klimis dan minyak wangi hehehe.

Kami pun menikah meski tanpa dasar cinta. Ibu menjadi pendukung nomor satu, menyadari usiaku yang sudah bukan muda lagi, dua puluh enam tahun. Di desa hal itu sangatlah langka mengingat teman-teman sebaya sudah banyak yang berputra tiga.

Rasa kaku dan canggung bagaikan tembok yang memisahkan kami. Lama-kelamaan aku mulai terbiasa oleh kesabaran dan ketulusannya terhadapku.

Sampai akhirnya kusadari sepenuhnya bahwa dia menjelma menjadi sosok yang bijaksana, membuatku terpesona. Kami pun berpacaran 😀.

Hari berganti minggu, bulan, dan tahun. Kami semakin larut dalam sakinah. Bukan cuma sms ungkapan rindu di setiap malam menjelang tidurku, bau keringatnya pun membuatku rindu 😀.
Ketika libur, tak jarang dia mengerjakan pekerjaan rumah ketika dilihatnya aku terlelap dalam lelah. Mencuci piring, menguras kamar mandi, merapikan kasur tempat kami istirahat pun menjadi hal biasa baginya ‘tuk sekedar meringankan bebanku.
Jika terkadang aku marah tak tentu, dia tak pernah menunjukkan rasa kesalnya padaku.

”Dik, kok ngambek kenapa? Tolong maafkan aku jika berbuat kesalahan.”

Aku pun menceritakan kegundahan hatiku. Lalu kami bicarakan bersama diakhiri pelukan hangat layaknya boneka teletubies…hehe.

Meski dalam sepekan selama empat hari terpisah oleh jarak dan waktu, kami berjanji saling mengerti, saling jujur, saling mengingatkan. Betapa indah kebersamaan kami.
Setiap malam aku tak bisa tertidur sebelum membaca sms darinya.

”Selamat istirahat istriku, aku sayang padamu.”

Sembilan tahun bersama, diapun tak pernah melupakan kata-kata itu. Dua buah hati lahir dari rahimku, benih cinta dan kasih dan sayang kami. Lengkap sudah harapan kami. Kebahagiaan ternyata ada disini, bersamamu. Dalam do’aku kumohonkan selalu, sakinah mawadah, warahmah, hanya bersamamu.

Maafkan aku, telah salah menilai dulu. Kulit luar tak menampakan apa yang ada di dalam hatimu.

Jika saja kau membaca tulisanku, aku tak pernah menyesal menerima pinanganmu dulu, yang kusesali kaos badminton itu…telah kujadikan lap meja supaya kau tak pernah memakainya lagi di hadapanku.

Posted in Dian Hariani, Fiksi Mini, True Story.