WhatsApp dan Perubahan Gaya Komunikasi

Spread the love

Salah satu dampak adanya media komunikasi semacam WhatsApp, Line, Telegram dan media lainnya berbasis internet adalah, semakin mudah dan murahnya komunikasi. Betapa saat tahun 1999 awal memiliki handphone, biaya telpon yang begitu mahal, menurut ukuran kantong saya waktu itu, sehingga SMS menjadi alternatif komunikasi yang lebih murah dengan batasan hanya 160 karakter saja daripada telpon 1 menit dengan biaya 10 ribu. Bandingkan dengan kondisi sekarang, hanya dengan paketan internet 50 ribu, sudah bisa chatting dan bercakap-cakap lebih dari puas hingga vicon (Video Conference). Bandingan dengan era wartel kuda, uang 50 ribu hanya cukup untuk telpon interlokal Surabaya-Bandung 5 x 5 menit saja. itupun pas jam diskon antara jam 9 malam sampai 6 pagi.

Media komunikasi berbasis internet juga memudahkan untuk membuat group yang memungkin banyak orang bisa menerima pesan yang sama, seperti WhatsApp Group (WAG).  Positifnya, sebuah kantor, departemen, komunitas, dan jenis kelompok lainnya, bisa berdiskusi dan saling bertukar informasi dengan cepat, murah dan mudah. Bukan hanya berupa teks, tapi gambar, video bahkan dokumen.

Namun kemajuan teknologi dan kemudahan komunikasi tersebut terkadang tidak diimbangi dengan kecanggihan dalam memahami etika komunikasi. Akibatnya, gaya komunikasinya tidak mengndahkan etika dan moral. Tidak terkecuali terjadi juga di kalangan mahasiswa dan dosen, yang notabene sebagai bagian dari masyarakat terpelajar.

Berikut beberapa contoh kasus, yang mungkin juga Anda pernah temui atau alami.

  1. Mahasiswa mengetik dengan bahasa alay,
    – “P4k, b1s4 k3t3mu j4m b3r4p4?”,
    – “Maaf, tgsx sdh sy krm k email bpk”,
    – “Bapak ada d mana? Saya cari tidak ada!!!”
    Pesan dalam bentuk tulisan alay, kata-kata yang disingkat dan kalimat serta tanda baca yang tidak tepat, sering saya temui. Beberapa dosen bereaksi dengan cara memarahi si mahasiswa. Sebagian lagi memilih untuk memblokir akun si mahasiswa. Namun saran saya sebagai pendidik, sebaiknya sampaikan nasihat kepada mereka dengan cara yang baik, agar mereka paham dan mengubah gaya komunikasinya. Itulah tugas pendidik sebenarnya, membuat yang tidak paham menjadi paham.
  2. Ada banyak WAG yang terbentuk di kampus. Mulai dari WAG prodi, fakultas, lemlit, pimpinan, bahasa inggris dan lainnya. Celakanya, walaupun dosen, ada juga yang tidak paham etika berkomunikasi. Sebagai contoh:
    – Mengirimkan foto selfienya, ada di mana, makan apa atau sedang apa, hampir di semua group. Akibatnya selain menyampah dengan hal pribadi, kesan sok pamer dan butuh pengakuan sebagai orang hebat juga susah untuk dihindari.
    – Terlalu banyak bercanda di group serius. Saat kita bergabung di group peneltian, pasti yang kita harapkan adalah informasi dan diskusi tentang penelitian. Saat di group LSP, yang kita harapkan juga tentang apa saja yang berkaitan dengan LSP. Namun bila selera humor seseorang terlalu tinggi dan kurang piknik, group apa saja dijadikan pelampiasan untuk ngelawak.
    – Flirting di group umum. Flirting atau menggoda adalah perilaku untuk menarik lawan jenis, entah dengan body language, ucapan maupun kalimat chatting. Misal, “Wah Bapakku baik sekali”, “Terimakasih Bapak Rektor yang ganteng”, “Oh kalau Bu Sinta yang cantik ini bilang, saya pasti setuju” dan kalimat pujian lain yang sifatnya menggoda.
    – Menyampah di group atas nama duka cita. Ucapan turut berbelasungkawa juga bisa menjadi sampah bagi anggota WAG. Bagaimana bisa mengucapkan berdukacita, sementara anggota keluarganya tidak menjadi anggota group tersebut. Mengapa tidak langsung PM saja ke anggota keluarganya yang kita kenal. Kan tidak lucu bila misal ada anggota boyband Korea mati bunuh diri dan di WAG prodi, semuanya mengucapkan turut berduka cita.
  3. Mengirimkan foto atau video humor jorok pada lawan jenis. Perlu dipahami bahwa mengirimkan humor jorok termasuk pelanggaran etika dan moral, bila Anda mengirimkannya pada orang lain yang dikenal, tetapi bukan teman akrab atau keluarga yang tahu betul kebiasaanya.
  4. Mengajak komunikasi tanpa tahu waktu. Pernah kah teman kantor, atasan, mahasiswa atau orang yang Anda kenal mengirim pesan atau chat di atas jam 9 malam? Pahami bawah jam 9 malam adalah batas waktu private, sehingga tidak etis bila mengirimkan pesan di atas jam 9, kecuali bila memang itu bagian dari bisnis Anda, sudah kenal baik, keluarga atau susai kesepakatn sebelumnya. Saya lebih memilih tidak membuka chat yang dikirim di atas jam 9 untuk yang bukan keluarga. Kalau urusan kantor, biar dibaca besok pagi saja. (Baca Tamu Menembus Tembok)

Sebenarnya ada banyak lagi perilaku dan perubahan gaya komunikasi yang tidak etis dalam memanfaatkan media komunikasi. Intinya, sadari bahwa media komunikasi harus digunakan dengan sebijak mungkin dan dengan memperhatika etika sosial dan pergaulan. Akhirnya saya bisa paham mengapa Pak Redi Panuju – Dekan Fikom memilih untuk tidak punya akun WA, daripada media komunikasi tersebut membuat kehilangan privasi dan sakit hati karena orang-orang yang tidak paham etika berkomunikasi.

 

1 thought on “WhatsApp dan Perubahan Gaya Komunikasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *