Terlambat

Spread the love

Perasaanku tak menentu. Hatiku mereka-reka apa yang sedang terjadi. Begitu pesawat landing di bandara Juanda, kupacu langkahku menuju antrian petugas imigrasi, tentu saja setelah mengambil koper dari bagasi pesawat.

Naik taxi ke terminal Bungurasih, naik bis kurang lebih 3 jam jika perjalanan lancar, lalu becak sejauh 25 km, adalah serangkaian perjalananku menuju rumah.

Aku tidak memberitahukan kepulanganku pada keluarga. Ingin membuat surprise pada ayah yang sedang tergolek tak berdaya karena sakit.

Singkat kata, aku turun dari becak pukul 24.05. Hatiku berdebar menantikan sebuah pertemuan dengan orang-orang tercinta setelah empat tahun aku merantau ke negeri orang.
Kupandang seksama, halaman kecil yang penuh rumput terlihat tak terawat. Ayahku sakit hampir setengah tahun yang lalu. Ibu seolah menjadi perawat sejati, juga kakak-kakakku yang datang silih berganti karena memang mereka sudah berkeluarga.Selama itu aku tak bisa mendampingi serta merawat beliau karena keterikatan kontrak kerja. Hanya kabar telpon dan sedikit rizky yang kukirim untuk biaya perawatan beliau. Aku sudah rindu, ingin memeluk tubuh renta mereka berdua.

Kuamati kursi yang mulai usang menghias teras rumah. Juga pintu yang mulai terlihat rapuh. Kuintip dari celah kaca jendela, lampu ruang tengah masih menyala. Sekilas terlihat tikar masih berjejer rapi di ruang tamu.

Dengan hati bahagia, kuketuk pintu rumahku. Seseorang mengintip dari balik cendela, lalu dengan suka cita membukakan pintu…peluk bahagia mengalirkan air mata diantara kami. Ketiga kakak dan satu adikku ikut berhamburan menyambutku. Ibuku duduk termangu menitikkan air matanya, seolah tak percaya melihat kedatanganku. Aku bersimpuh mencium tangan, lalu hanyut dalam peluk hangat beliau. Air mataku tumpah untuk kedua kalinya.
Teringat sesuatu, aku bergegas menuju kamar ku yang berantakan, mungkin karena ulah keponakan-keponakanku. Langkahku tertuju pada kamar ayah..tak ada siapa-siapa disana. Bahkan ranjang beliau terlihat rapi dan wangi bunga dimana-mana.

“Dimana ayah?? Buk..kak..”

Mereka diam membisu. Tapi air mata mereka menyembunyikan sesuatu..

“Dimana ayah? Jawab aku bu!!”

Suaraku semakin mengeras..

“Sabarlah nduk, istighfar.Ayahmu menitipkan salam untukmu. Ayah sudah… .”

Suara serak ibuku disertai deraian air mata, membuat sesak didada.
Tubuhku lemas, tak mampu lagi berdiri. Ingatanku entah kemana.

“An…sabar nduk.”

Aku tak tau lagi apa yang terjadi. Suara-suara mereka berusaha menabahkan hatiku. Memberi kekuatan untuk mengingat kuasa Mu. Ya Allooh, mengapa Kau ambil ayahku sebelum aku bisa membahagiakan beliau?? Mengapa?

Aku terpaku pada gundukan tanah yang masih terlihat basah, batu nisan tertulis namamu, dan bunga-bunga segar bertaburan disana. Hatiku pilu. Buliran air mata masih menampakkan duka yang dalam. Ini hari ketiga ayahku menghadap sang Khaliq. Rasa rinduku membelenggu. Kejutan yang ingin kuberikan berakhir duka. Maafkan aku ayah. Aku terlambat…kan kusebut namamu dalam setiap do’aku. Ya Alloh, terimalah ayah disisi Mu. Aamiin.

Air mataku kembali bergulir mengenang peristiwa dua belas tahun yang lalu.

Posted in Dian Hariani, Fiksi Mini, True Story.