WE ARE NOT TERORIS! 

Spread the love

(sebuah kisah nyata)

“Dianaaaa mea le kah?”. (Diana, apa ini?) Suara keras wanita itu membuatku terbiasa dengan cara mereka berbicara. Aku tergopoh menuju kamarku.

”Mesia dai dai?”(Ada apa nyonya?) Dia terlihat marah sambil menunjuk kerudung putih yang kupakai saat shalat subuh pagi tadi.

Oh, aku lupa menyimpannya dalam lemari. Mereka tidak menyukai segala sesuatu yang berwarna putih. Apalagi mukena. Mereka benar-benar melarangku memakainya.

”Tue em ci dai dai.”(Maafkan saya nyonya) Aku buru-buru menyimpannya dalam lemari. Dia berlalu dengan muka memerah menunjukkan kemarahan yang membuncah.

Aku teringat empat bulan lalu ketika datang ke negri Hong Kong, tempatku menggantungkan satu harapan. Dengan alasan mencari pengalaman, aku ingin mendapat segenggam dollar demi masa depan. Di sisi lain aku juga ingin menghindari keputusan ayahku nikah di usia muda. Ayah bagiku sosok yang sabar, jujur dan pendiam. Tapi sekali marah beliau bisa meledak-ledak membuat bulu kuduk merinding. Ayah berharap aku menikah di usiaku yang relatif masih muda. Aku bersikeras tidak akan menikah sebelum matang dalam segala hal. Bukannya tidak patuh pada beliau, tapi lebih dibayangi kisah kawin cerai yang sering disiarkan di media. Perbedaan prinsip antara aku dan ayah, membuatku kabur dari rumah dan memutuskan menjadi TKI di Hong Kong.

Kenyataan tak seindah yang kubayangkan. Bukan Cuma budaya yang jauh berbeda dibandingkan hidup di negri sendiri. Juga bukan cuaca atau musimnya, melainkan hidup di tengah-tengah masyarakat non muslim terlalu rumit dan menyiksa nurani. Aku begitu tercengang ketika mendengar persyaratan dari majikan seusai menandatangani kontrak kerja dua tahun lamanya.
No long hair, no long nail, no acne, no pray (sholat+mengaji), no jilbab, no talk with other (Indonesian), dan masih banyak lagi.

Rambut panjang dilarang karena jika tidak terawat, bisa rontok dan jatuh dalam makanan. Hal itu sangat menjijikkan bagi mereka. Kuku panjang juga membuat makanan menjadi kotor ketika harus membersihkan tulang-tulang ikan sebelum menyuapi balita asuhanku. Setiap akan datang bulan, aku harus mengoles salep khusus, agar jerawat tak muncul di mukaku, supaya mereka tak jijik. Mengobrol dengan teman jika ketemu akan membuang waktu percuma. Tidak seperti di negri sendiri, kita selalu berbasa-basi dengan orang sekitar hingga pembicaraan jauh tak terkendali. Semua persyaratan itu terlalu mudah bagiku. Tapi yang membuatku merasa heran, jilbab,sholat dan mengaji aku dilarang. Apalagi puasa. Mereka tidak mau menanggung resiko jika aku mati hanya karena puasa. Masya’Allah, peraturan macam apa ini?

Aku mencoba mencari solusi di hari pertama. Alhamdulillah kedua majikanku selalu bangun siang, sehingga aku bisa mengerjakan sholat subuh. Dzuhur dan Asyar, mereka belum pulang dari aktivitas di kantornya. Maghrib kadang mereka juga belum tiba di rumah. Isya’ adalah kelonggaran, karena aku bisa mengerjakannya malam hari, dengan menutup pintu rapat-rapat. Tentang warna putih yang menjadi pantangan bagi mereka, aku bisa menggantinya dengan gamis berwarna dan kerudung yang menjuntai sampai ke perut. Kaos kaki dan tangan dengan jari terbuka kukenakan untukmenyempurnakan salah satu rukun sholat, yaitu menutup aurat. Tapi, ketika Maghrib mereka di rumah, aku mengerjakan sholat Maghrib di kamar mandi. Kamar mandi disana luas, kering, selalu bersih dan wangi, sehingga aku bisa leluasa membentangkan sajadah disana. Karena sholat maghrib tidak boleh di jama’ dalam keadaan apapun. Dalam forum terbuka, seorang ustadz juga mengajarkan hal itu. Dalam keadaan Dzorurot hal itu diperbolehkan. Itu adalah perjuangan bagi kami yang masih memegang teguh keyakinan bahwa Alah akan memaklumi keadaan kami. Pendapat yang berbeda pun bermunculan, menjadi topik seru dalam setiap diskusi keagamaan kami di setiap minggunya. Lepas dari pro kontra diantara sesama muslim, kami sekelompok kecil hanyalah berusaha untuk tetap bisa melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya. Alhamdulillah semua berjalan lancar, dan semoga Allah memaafkan segala kesalahan kami.

Sebenarnya aku mau saja melawan segala aturan yang diterapkan, meskipun resikonya dipulangkan. Tapi hatiku tak sejalan. Semua dikarenakan kegiatan kami dalam sebuah organisasi Islam disana sedang mencapai titik kesuksesan. Sebuah majelis berhasil membuatku jatuh cinta. Setiap liburan kami programkan Pengajian Akbar dengan mengundang ustadz ustadzah dari negri tercinta, antara lain ustadz Aa Gym, Arifin Ilham, dan masih banyak lagi. Semua demi mendapatkan pencerahan dan Tolabul’Ilmi di negeri yang gersang akan pengetahuan agama. Di sela-sela kesibukan, banyak para TKI yang ingin belajar mengaji, bahkan belajar sholat dengan kami. Tidak pandang usia. Bahkan seorang ibu tanpa rasa malu ingin belajar mulai dari Jilid 1, buku panduan mengaji untuk pemula yang benar-benar belum mengerti huruf hijaiyah. Sebagai sekretaris Majelis Ta’lim Hong Kong, aku harus turut serta membantu mewujudkan tujuan kami, mendakwahkan Islam secara terang-terangan dan mengajak setiap muslim untuk tetap menyembah Allah SWT dalam keadaan apapun.

Sederet kursus bernaung dalam Yayasan yang didirikan oleh sebagian kami yang telah sukses disana. Menjahit, merias dan mempelajari bahasa asing, seperti Inggris dan Jepang. Dengan tujuan, jika tiba waktunya finish contract, mereka telah membekali diri dengan berbagai ketrampilan. Dan benar saja, dari para pekerja yang pulang ke tanah air, kami ketahui mereka sudah memiliki pekerjaan karena sertifikat yang didapat selama kursus di Yayasan kami. Alhamdulillaaah.

Malam hari, kedua majikanku mengajakku duduk bersama untuk membicarakn kejadian tadi pagi.

”Diana, do you sholat as long as you work here?” Tanya majikan laki-lakiku dengan bahasa inggris yang lebih fasih dari istrinya.

“Yes, sir.” Jawabku pasti.
“Fasting? And everything?” Aku mengangguk tanpa ragu.

“Did you remember all rule, aren’t you?”

“Yes, ofcourse I am.”

“Do you part of the terroris?” Aku tidak terkejut dengan pertanyaan terakhirnya.

Hampir semua lapisan masyarakat menuduh setiap yang berkerudung adalah teroris. Terlebih setelah peristiwa pembajakan pesawat yang memicu ledakan di WTC, Amerika Serikat. Mereka juga pernah memergokiku mngenakan pakaian kebanggaan itu, di hari libur. Aku ingin membantah semua pernyataan itu. Dan inilah waktu yang tepat, meskipun break contract resikonya.

”Sir, please let me tell you! Not all of Moslem is teroris. Eerybody have one God, but different way to pray. So you can’t judge like that.”

Kali ini mereka terdiam oleh keterangan panjang lebar yang keluar dari mulutku. Kujelaskan seandainya dia di posisiku, apakah akan meninggalakn kewajiban karena pekerjaan? Apakah mereka bisa menjalankan semua peraturan yang mereka terapkan? Siapa yang memberi rizki, dan barokah kesehatan selama ini? Siapa juga yang akan menjamin kehidupan setelah kematian kelak? Kujelaskan juga pakaian tertutupyang kami kenakan adalah perintah Nya. Dengan pakaian itu justru kami selalu terjaga dari hal-hal buruk di luar sana. Tak lupa pula kujelaskan hakekat berpuasa, dan berjanji tidak akan mati karena puasa. Sepertinya mereka mulai memahami semua keteranganku yang cukup masuk di akal.

Terakhir, untuk meyakinkan mereka, kuambil buku The Holy of Qur’an yang kusiapkan untuk membuat mereka tidak memvonisku, juga saudara-saudaraku bagian dari teroris. Islam rohmatan lil’alamiin.

Alhamdulillah Allah menunjukkan kuasa Nya. Sejak malam itu, kedua majikan mengijinkanku memakai jilbab saat keluar rumah. Sholat dan mengaji tak dibatasi asal tidak memakai mukena berwarna putih. Bulan Ramadhanpun kujalani dengan khusyuk, tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi. Dan aku tetap istiqomah menjalani aktifitas di Majelis kami tercinta. Satu lagi kebaikan mereka, aku diijinkan menggunakan c
komputer di rumah, untuk mengerjakan tugas-tugas dari tempat kursus dan membuat proposal untuk diajukan pada sponsor dalam rangka Pengajian Akbar yang kami gelar setiap bulannya.

Kami yakin, setiap niat dan tujuan baik akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT.
Selama lima tahun aku berjuang, sampai akhirnya memutuskan pulang karena panggilan untuk menikah di usiaku yang ke-26.

 

Dikisahkan kembali oleh Dian Hariani

 

Posted in Dian Hariani, True Story.