Angin pagi berhembus meniup daun-daun tetumbuhan hijau nan segar. Di belakang rumah, sepasang insan sedang asyik bertemu, berbincang tentang sesuatu. Kerinduan yang menyeruak membuat mereka mencuri-curi waktu, meski terhalang oleh kokohnya pagar bambu.
“Sa, aku sudah ndak sabar nunggu bulan depan. Kita akan jadi raja dan ratu sehari.”
”Bang, ingat! Innallaha ma’asshobirin.”
”Eh, iya Sa. Habis kamu sih, nunduk mulu. Aku kan pingin lihat sepasang mata indah dan senyum manismu. Gitu saja ndak boleh.”
Sa tersenyum lirih, ”Ah bisa aja. Kata Umi, tundukkan pandanganmu dari seseorang yang bukan mahram.”
”Kita bentar lagi kan jadi suami istri, Sa.”
”Tapi tetep saja belum waktunya, Bang.”
” Dulu kita berlarian di sawah sambil bermain lumpur. Umi dan Abimu selalu marah melihat kamu belepotan lumpur. Ingat ndak, Sa?”
“Ingat, Bang. Tapi waktu itu kan aku belum baligh.”
”Eh, iya. Kata Pak Ustadz, jangan berduaan di tempat yang sepi. Di tengah-tengahnya pasti syetan.” Bang tidak kehabisan akal.
”Eh, siapa juga yang berdua-duaan. Nih, aku bawa si Meli, kucing kesayanganku.” Sa menunjukkan Meli, sambil tetap menatap ujung-ujung rumput liar yang mengelilingi kakinya. Bang menghela nafas panjang.
Mereka berdua terkejut mendengar suara deru motor di depan rumah, abinya datang dari pasar. Sa berlari sambil membawa sapu, Bang pun lari terbirit-birit.
Keesokan harinya, mereka kembali bertemu. Pagar bambu yang kokoh berdiri seolah menjadi pengaman bagi mereka supaya tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
”Assalamu’alaikum, Sa,” suara lembut menyapa dari balik pagar.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah, Bang.”
“Gimana, masih sehat kan? Kemarin dimarahi Abi ndak?”
“Alhamdulillah sehat. Ndak dimarahi kok Bang. Abi nggak tahu.”
“Masih ngajak Meli?” tanyanya menyelidik.
“Iya, Bang. Sa takut jika berdua-duaan akan ada syetan.”
Bang hanya geleng-geleng kepala mendengar alasan Sa. Ternyata dia tidak salah lagi, Sa memang gadis yang hampir sempurna. Kata Pak Ustadz, hanya Allah lah yang paling sempurna.
”Aku punya lagu untukmu, Sa. Tadi sekalian kubawa gitar kesini. Mau dengar ndak?”
”Mau mau, Bang,” Sa penasaran dengan lagu yang akan dinyanyikan calon suaminya.
”Denger ya? … satu nusa satu bangsa satu bahasa kita ….” Sa tertawa, sehingga Meli terlepas dari dekapannya. Tak sadar Sa menatap lelaki dibalik pagar itu dengan tawa. Kali ini Bang merasa berhasil membuat Sa memperlihatkan kelembutan dan kecantikan wajahnya yang penuh rona bahagia, berbalut kerudung jingga. Bak bidadari syurga.
”Alhamdulillah ya Allah, Aku tak salah pilih,” Bang semakin terpesona.
”Apa-apan kalian berdua. Sa, masuk! Abi akan hukum Kamu.” suara Abi tiba-tiba mengejutkan mereka. Bang kembali berlari tanpa arah.
Semenjak hari itu, mereka tak pernah bertemu lagi.
Sampai saatnya tiba harus bersanding di pelaminan, menghalalkan hubungan mereka dalam satu ikatan suci nan abadi. Nusa dan Bangsa tersenyum bahagia. Kebahagiaan yang didapat tak lebih karena kesabaran dan pengorbanan mereka berdua selama ini.
TAMAT